Jangan panggil aku ibu
Cerpen : by
Jefry Daik C2012
Penulis
adalah Mahasiswa FKIP UKAW Progdi Biologi semester VIII

![]() |
Lama aku menanti, pada saat yang
bersamaan ketika namaku dipanggil, beberapa orang perawat mendorong keluar
seorang mayat yang ditutupi kain putih. Wajah mereka dirudung duka. Lalu, pertanyaan itu
muncul dibenakku : Bagaimana jika aku mati? Berdosakah aku? Diterimakah aku disana? Apakah bayiku juga akan mati?
Ataukah justru aku yang mati dan dia yang selamat dengan nasib terkatung –
katung sebagai anak haram??
Dijahati oleh opa dan omanya, atau mungkin dibuang ke tong sampah..,?
Penderitaan apa yang akan dia alami setelah
itu? Dia mungkin saja menjadi pelacur, atau orang gila. Ketika orang bertanya
tentang sejarah gadis ini (aku yakin dia seorang gadis, karena aku bisa
merasakannya lahir didalam rahimku. Dari zigot, morula, blastula, grastula...) mereka akan menjawab,..
memang, ibunya perempuan murahan, makanya anaknya jadi pelacur....
“Ibu Sista,..” sekali lagi dokter
memanggil namaku. Aku tersentak dan memandang berkeliling.
“Ibu Sista Ramandani,”ulangnya
Aku bangkit perlahan-lahan, namun bukan
masuk ke dalam ruangan itu. Aku melangkah secepatnya,.. menjauhi dari dosa yang
hampir saja bertambah dalam hidupku.
…..Dan dari sanalah arah hidupku berubah. Mungkin bayi
ini datang memang karena kesalahan, tapi bukan dia yang salah. Kalau aku jadi dia esok dan
lusa,.. mungkin aku juga akan bersuara : aku
tidak pernah meminta untuk dilahirkan seperti ini!!.
Sepuluh tahun berlalu, selepas aku melahirkan dia dan tidak kuasa menahan tangis maupun airmata karena mengenang masa lalu, dan lagi aku harus bekerja menghidupi diriku sendiri juga demi dia – Karena orangtuaku sudah menganggapku mati, aku akhirnya menitipkannya ke panti asuhan milik temanku. Sahabatku Kristi dengan suatu permohonan : ijinkanlah aku untuk menemuinya kapanpun, dan membiayainya, tapi rahasiakan aku dari dirinya.
Maka disinilah aku berdiri.
Dibatasi oleh gerbang panti dengan sejuta kata tak terucap. Antara marah,
jijik, sedih, bersalah, kasihan,.. cinta……? Dia begitu lincah dan bermain
dengan asyiknya. Dia selalu membantu teman, dan selalu tertawa. Aku ingin ke
sana, namun langkah ini begitu berat. Apakah dia akan mengerti bahwa aku ini
ibunya? Ibu yang telah membuangnya sepuluh tahun lalu.
Rasa-rasanya dada ini sakit.
Tanpa bisa ditahan, akhirnya airmataku meleleh.
Waktu kubuka mataku, Talita,
gadis kecil itu sedang memungut bola kaki yang jatuh disekitar kakiku.
“permisi, ibu…”
Deg!
Tak sengaja dia menyentuh
kakiku. Aku mundur namun tersangkut kawat tajam.
“ah…kaki ibu berdarah,
aduh.. banyak darahnya.”teriaknya panik.
Aku memandang ke bawah dan
tanpa bisa kucegah tiba – tiba Talita sudah berlari ke salah satu pohon papaya
di sisi lain pagar dan meraih ujung daun mudanya lalu mengunyah secepat kilat,
dan tiba-tiba saja kakiku sudah dibalutnya. “maaf ibu,maaf. Ini semua gara –
gara saya.”
“ti,tidak!”sahutku terbata-bata.
Airmataku malah sudah meleleh. Wajah anak ini begitu tulus penuh penyesalan,
namun ia sangat mirip dengan pamanku yang kurang ajar itu. Dilema segera
menerpa batinku. “tidak usah,…nnak” ragu – ragu aku menyebut nama itu.
“ ayo ibu masuk saja. Biar
nanti bunda Kristi yang obati, “
“I,ibu Kristi masih
hi,hidup?” tanyaku bimbang.
“iya. Ibu kenal? Ibu Kristi
pernah berkata jika ada seorang wanita yang datang nanti disuruh masuk saja. “
“ta,tapi itu pasti bukan
saya,”aku berusaha menghindari matanya yang berbinar cerah. “tolong, jangan
panggil saya ibu,”
“memangnya kenapa?”Tanya
Talita polos, ”seorang wanita dewasa memang disebutkan sebagai seorang ibu.”
Pikirannya menyiratkan kecerdasannya yang luar biasa. ”Saya juga dilahirkan
oleh seorang ibu. Tapi…”
“Ayo, anak-anak!!”kata –
kata Talita terpotong oleh panggilan ramah dari seorang wanita. Waktu aku
mencari asal suara itu, Kristi sudah berlari ke arahku.
“Sista!!!”

“Sista?Sista…..SISTAAAAA!!”
++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
Di pekuburan umum, Talita duduk dengan airmata berlinang.
Krista hanya bisa membiarkannya menangis. Krista telah menjelaskan baginya.
Segala yang perlu dia ketahui.
“Mengapa bunda? Mengapa ibu
harus menjadi ibu saya? Mengapa aku tak boleh memanggilmu ibu? Mengapa ? apakah
engkau begitu membenci saya?” jeritnya
sambil meratapi pusara.
Namun angin hanya berdesir.
Dia tak bisa menemukan jawaban apapun.
“karena dia bukan ibumu,
nak… dia ayahmu, sekaligus ibumu. Yang mencintaimu, dan menjagamu. Bahkan
sampai saat ini“
Diwaktu senja mulai merona,
kedua insan itu bersimpuh dan berdoa dengan khusuk. Burung – burung beterbangan kembali ke
sarangnnya, namun Talita seolah kehilangan itu semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar