Jumat, 08 Juni 2012

cerpen : jangan panggil aku ibu...


Jangan panggil aku ibu
Cerpen : by Jefry Daik C2012
Penulis adalah Mahasiswa FKIP UKAW Progdi Biologi semester VIII

Hidupku tak pernah bisa tenang, sekalipun aku sudah melepaskan segalanya untuk menemuinya. Kutinggalkan pekerjaan, kulepaskan rumah, harga diriku, dan segalanya untuk bisa hidup bersamanya, namun, meskipun begitu, disini masih terasa ada lautan yang tak tersebrangi.
 Aku melihat dia, putriku. Matanya begitu elok. Parasnya amat manis, dan namanya memang cantik. Talita. Hanya,.. kisah kelahirannya selalu menjadikanku frustasi dan kadang tak mau memandangnya. Tentu saja dia anak yang tak ku inginkan. Aku,.. ah,.. buat apa lagi mengorek luka masa lalu? Ayahnya adalah pamannya sendiri yang biadap dan menyangkal pernah berhubungan intim denganku. Dia malah membuatku kehilangan muka dengan menuduhku yang bukan – bukan. Orangtuakupun bukannya membela hakku sebagai putri sulung mereka tapi malah menghujaniku dengan cacian dan makian. Seolah – olah di dunia ini tidak ada orang yang tersuci selain mereka dan adat istiadanya, ataupun harga diri mereka. Lalu, dengan sangat terluka aku memutuskan untuk meninggalkan rumah. Mungkin akan ku aborsi bayi haram ini. Akan tetapi, ketika aku mulai pergi ke dokter dan melihat beberapa ibu menggendong bayinya, perasaan itu menyusup begitu saja. Tiba – tiba aku ingin menjadi seorang ibu. Hanya, bila kurenungkan kembali, buat apa menanggung aib dan malu? Suatu ketika yang susah hanyalah bayi ini. Daripada dia menderita, baiklah akan ku akhiri penderitaannya.



Lama aku menanti, pada saat yang bersamaan ketika namaku dipanggil, beberapa orang perawat mendorong keluar seorang mayat yang ditutupi kain putih. Wajah mereka dirudung duka. Lalu, pertanyaan itu muncul dibenakku : Bagaimana jika aku mati? Berdosakah aku? Diterimakah aku disana? Apakah bayiku juga akan mati? Ataukah justru aku yang mati dan dia yang selamat dengan nasib terkatung – katung sebagai anak haram?? Dijahati oleh opa dan omanya, atau mungkin dibuang ke tong sampah..,?
 Penderitaan apa yang akan dia alami setelah itu? Dia mungkin saja menjadi pelacur, atau orang gila. Ketika orang bertanya tentang sejarah gadis ini (aku yakin dia seorang gadis, karena aku bisa merasakannya lahir didalam rahimku. Dari zigot, morula, blastula, grastula...) mereka akan menjawab,.. memang, ibunya perempuan murahan, makanya anaknya jadi pelacur....
“Ibu Sista,.. sekali lagi dokter memanggil namaku. Aku tersentak dan memandang berkeliling.   
“Ibu Sista Ramandani,”ulangnya
Aku bangkit perlahan-lahan, namun bukan masuk ke dalam ruangan itu. Aku melangkah secepatnya,.. menjauhi dari dosa yang hampir saja bertambah dalam hidupku. …..Dan dari sanalah arah hidupku berubah. Mungkin bayi ini datang memang karena kesalahan, tapi bukan dia yang salah. Kalau aku jadi dia esok dan lusa,.. mungkin aku juga akan bersuara : aku tidak pernah meminta untuk dilahirkan seperti ini!!.


 Sepuluh tahun berlalu, selepas aku melahirkan dia dan tidak kuasa menahan tangis maupun airmata karena mengenang masa lalu, dan lagi aku harus bekerja menghidupi diriku sendiri juga demi dia – Karena orangtuaku sudah menganggapku mati, aku akhirnya menitipkannya ke panti asuhan milik temanku. Sahabatku Kristi dengan suatu permohonan : ijinkanlah aku untuk menemuinya kapanpun, dan membiayainya, tapi rahasiakan aku dari dirinya.
Maka disinilah aku berdiri. Dibatasi oleh gerbang panti dengan sejuta kata tak terucap. Antara marah, jijik, sedih, bersalah, kasihan,.. cinta……? Dia begitu lincah dan bermain dengan asyiknya. Dia selalu membantu teman, dan selalu tertawa. Aku ingin ke sana, namun langkah ini begitu berat. Apakah dia akan mengerti bahwa aku ini ibunya? Ibu yang telah membuangnya sepuluh tahun lalu.
Rasa-rasanya dada ini sakit. Tanpa bisa ditahan, akhirnya airmataku meleleh.
Waktu kubuka mataku, Talita, gadis kecil itu sedang memungut bola kaki yang jatuh disekitar kakiku.
“permisi, ibu…”
Deg!
Tak sengaja dia menyentuh kakiku. Aku mundur namun tersangkut kawat tajam.
“ah…kaki ibu berdarah, aduh.. banyak darahnya.”teriaknya panik.
Aku memandang ke bawah dan tanpa bisa kucegah tiba – tiba Talita sudah berlari ke salah satu pohon papaya di sisi lain pagar dan meraih ujung daun mudanya lalu mengunyah secepat kilat, dan tiba-tiba saja kakiku sudah dibalutnya. “maaf ibu,maaf. Ini semua gara – gara saya.”
“ti,tidak!”sahutku terbata-bata. Airmataku malah sudah meleleh. Wajah anak ini begitu tulus penuh penyesalan, namun ia sangat mirip dengan pamanku yang kurang ajar itu. Dilema segera menerpa batinku. “tidak usah,…nnak” ragu – ragu aku menyebut nama itu.
“ ayo ibu masuk saja. Biar nanti bunda Kristi yang obati, “
“I,ibu Kristi masih hi,hidup?” tanyaku bimbang.
“iya. Ibu kenal? Ibu Kristi pernah berkata jika ada seorang wanita yang datang nanti disuruh masuk saja. “
“ta,tapi itu pasti bukan saya,”aku berusaha menghindari matanya yang berbinar cerah. “tolong, jangan panggil saya ibu,”
“memangnya kenapa?”Tanya Talita polos, ”seorang wanita dewasa memang disebutkan sebagai seorang ibu.” Pikirannya menyiratkan kecerdasannya yang luar biasa. ”Saya juga dilahirkan oleh seorang ibu. Tapi…”
“Ayo, anak-anak!!”kata – kata Talita terpotong oleh panggilan ramah dari seorang wanita. Waktu aku mencari asal suara itu, Kristi sudah berlari ke arahku. 
“Sista!!!”
Aku terkejut dan segera berlari. Aku tak sanggup, ya Tuhan, aku tak sanggup. Tak kusadari sebuah mobil melaju kencang dari seberang, dan PRAAK!!!

“Sista?Sista…..SISTAAAAA!!”
++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
Di pekuburan  umum, Talita duduk dengan airmata berlinang. Krista hanya bisa membiarkannya menangis. Krista telah menjelaskan baginya. Segala yang perlu dia ketahui.
“Mengapa bunda? Mengapa ibu harus menjadi ibu saya? Mengapa aku tak boleh memanggilmu ibu? Mengapa ? apakah engkau begitu membenci saya?”  jeritnya sambil meratapi pusara.
Namun angin hanya berdesir. Dia tak bisa menemukan jawaban apapun.
Di saat itulah Kristi menjawab.
“karena dia bukan ibumu, nak… dia ayahmu, sekaligus ibumu. Yang mencintaimu, dan menjagamu. Bahkan sampai saat ini“
Diwaktu senja mulai merona, kedua insan itu bersimpuh dan berdoa dengan khusuk.  Burung – burung beterbangan kembali ke sarangnnya, namun Talita seolah kehilangan itu semua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar